Sore yang menyejukan,ayu sangat senang menonton televisei dan Ayu menyukai filem upin dan ipin, film upin dan ipin yang ia nanti selalu. film yang ia gemari mulailah filem upin dan ipin ayu duduk dan tidur – tiduran. Sampai ia disuruh ibunya untuk mandiAyu makan dulu nak! Ia buk….. sebentar lagi! Ayu mandilah udah siang nih entar Ayu sakit lagi!!,,,Ia buk lagi tanggung nih bentar lagi habis filmnya,,,,ya sudah kalau udah habis Ayu mandiya nak,,,ia buk!!,,,….
Film upin dan ipin ya udah habis Ayu mulai beranjak dari tempat duduknya( depan televisi).Ayu mengambil handuk dan mandi. selesai mandi ayu mulai duduk lagi didepan televisi menati filem yang ia gemari upin dan ipin.Jam menunjukan 18:30 filem upin dan upin mulai. Ayu duduk didepan televisi dan sambil tidur -tiduran. Ibunya mengajak ayu makan ayu… makan! Ia buk ayu noton filem upin dan ipin duluh ya,,,,!! Ia tapi makan duluh ya nak udah malem nih kalau udah makan baru noton lagi ya nak,,……
Ibu ya berkata kamu ambil piring,ambil nasi terus kamu makan sambil notonnya nak ia buk! Anak pintar itu baru anak ibu, ayu ketawa hehehehe,,,,,,,,,,,,,, ia ibu ini ayu jadi malu,,,, ayu bertanya kepada ibunya bapak kemana buk pergi tadi bapak pegi ketepat temannya ada urusan nak oh… buk sini noton sama ayu. Nonton film upin dan ipin, ia nak! Ibu ya bertanya kenapa Ayu senang dengan film upin dan ipin?... ya seneng buk soal ya lucu,menyenakan,terus mengajarkan baik dan buruk tentang cara berbicara,sikap terus tikah – laku. oh,,,,, begitu ya nak bagus kalau begitu kamu bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk yang dapat kamu ambil dari film upin dan ipintersebut ya nak! Ia buk,,,,,………………………….. ya uda kamu noton sendiri dulu ibu mau beres- beres kita makan tadi ya nak ,,,, ia ibu,,….!!
Dia datang di kehidupan ku disaat aku di kecewakan karena cinta,dan dia datang menghapus luka ku. Senin pagi aku dan dia bertemu dikampus untuk pertama kalinya. Memang saat itu aku tidak pernah adanya getaran cinta di hati initapi ntah mengapa bayangannya selalu hadir dan selalu memberikan harapan untuk cinta yang baru. Namun tak pernah ku sangkah ternyata dia sama seperti yang lain “dia tidak jujur”menapa dia tidak katakana bahwa hatinya telah dimilikioleh seseorang,kenapa dia harus berikan aku harapan yang tak semestinya aku rasakan saat ini namum harapan-harapan yang selama ini ternyata kekosongan belakah yang tak memiliki arti sama sekali hanya meningalkan luka dihati.
Orang yang kusayang hanya menigalkan luka di hati ku dan tanpah sepengetahuaan ku teman ku memiliki “rasa” terhadap dirinya dan ku mengetahuinya aku merasa kecewa, meski ku tahu tahu mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa tapi sudah lah semua telah terjadi. Aku dan dia semakin menjahu munkin karena masalah kemarin! Aku tak menyalakan dia,aku tahu munkin ia kecewa gara-gara agus. Agus dia mantan kekasi ku agus ingin kembali kepada ku menjalin hubungan yang sudah terputus pada waktu itu. Tapi ku tidak mau mejalin hubungan itu karenah hatikusudah terlajur disakitinya.
Ternyata ketidak mauan ku untuk kembali kepadanya,membuatnya marah dan akhirnya dia mengetahuikalau aku sedang dekat dengan seseorang namanya rudi,rudi adalah orang yang memberikan harapan yang palsu, rudi menjadi sasaran amarah agus masalah ketidak mauan ku untuk kebali kepadanya, mereka hapir rebut untunglah hal itu tidak sempat terjadi sampai detik ini. agus masih mengharapkan aku untuk kembali kepadanya, tapi ku sudah terlajur kecewa untuk kembali kepadanya rasanya tak munkin lagi …!! tapi aku masih mengharapkan rudi banyak teman ku bilang percuma mengharapkan rudi …!! Entahlah,,,,,!!! Aku tahu memang tgak mukin aku mengharapkan untuk memilikinya.
Saat ini aku benar-benar sakit ketikah ku mengetahui dia menjalin hubungan dengan yang lain jujur aku tak sanggup mendengarnya dan yang lebih ku tak sangup lagin disaat aku melihat mereka sedang duduk berdua,sedang menjalin kasih dan sayang, sadar kah merekan banyak yang tersakiti atas kisah cinta yang mereka jalani ini??.....ya bayak yang tersakiti bukan aku sendiri tapi kakak bambang. Bambang adalah mantan kekasihnya yang sedang mejalin hubungan dengan rudi saat ini, bambang merupakan teman dekat rudi adakah sekernario dibalik hubungan rudi dan matan kekasinya bambang ????,,,,,,,, hanya tuhan lah yang tau dan biakan waktu yang menjawabnya ……….
Munkinkah bambang ikhlas melihat dan melepas dorang yang ia cintai dan ia sayangin bersama orang lain meskipun itu teman dekatnya sediri!!!!!!!! Bukan kah teman yang sejati itu akan terluka bilah sahabatnya terluka ?!! apakah rudi tidak ada cinta sedikit pun untuk ku ?? biarkan waktu yang mejawab cerita cinta ku dan kehidupan ku…
Gerimis yang Sederhana
Kenapa pula aku tak mengajaknya bertemu di China Town, pikir Mei. Ia masih berada di belakang kemudi mobil yang disewanya dari Budget di sekitar bandara seharga 30 dollar sehari. Biasanya ia pergi dengan meminjam mobil milik sepupu atau bibinya, tetapi hari ini kedua mobil tersebut tengah dipakai, dan mereka hanya bisa mengantarnya ke penyewaan. Telah lama ia sebenarnya berpikir untuk memiliki mobil sendiri, harganya sepertiga dari harga di Jakarta, tetapi dia masih punya persoalan dengan keterbatasan garasi.
Mei belum juga berhenti. Ia sudah dua kali mengelilingi Jack in the Box dan dari kaca jendela ia bisa melihat Efendi duduk menantinya. Ia juga bisa melihat seorang pengemis berkeliling di antara pengunjung restoran. Ia hanya memperlambat laju mobil tanpa menghentikannya, bersiap mengelilingi Jack in the Box untuk ketiga kalinya. Mencoba menepis kebosanan menunggu, ia mencoba mendengarkan Bad Day yang dinyanyikan Daniel Powter dari salah satu radio FM.
Lalu ia memandangi wajahnya di kaca spion tengah. Ia terlihat agak gugup. Setelah 1998, pikirnya, ini kali pertama aku akan bertemu orang dari Jakarta. Kata sepupunya, kini wajahnya terlihat lebih terang daripada saat pertama kali datang ke Amerika. Ia tak terlalu menyadarinya. Barangkali karena ia terlalu sering melihat wajahnya, tak melihat perubahan apa pun. Ada sejumput rambut keluar dari topi Los Angeles Dodgers-nya, yang dipasang agak miring. Mei menyibakkan rambutnya ke balik telinga.
Ia kembali melintasi bagian depan restoran tersebut, dan melihat Efendi masih di sana melahap burgernya. Begitu pula pengemis tersebut. Saat itulah telepon genggamnya sekonyong berbunyi. Mei menoleh, ternyata itu dari sepupunya. Ia mengangkat telepon.
“Gimana? Udah ketemu cowok itu?”
Mei tak langsung menjawab. Ujung matanya melirik ke arah Efendi di kejauhan. “Belum,” gumamnya. Sebelum sepupunya mengatakan apa pun, ia segera menambahkan, “Tetapi, aku sudah melihatnya. Ia ada di dalam restoran, sedang melahap burger. Aku masih di mobil, mungkin menunggu ia selesai makan dan keluar dari sana.”
“Kenapa kamu enggak menghampirinya?”
Lagi-lagi Mei tak langsung menjawab, malah terdengar suara desah napasnya. Ia menggigit bibirnya, menimbang apakah ia akan menjawab sejujurnya kenapa ia tidak juga menemui lelaki itu, atau mencoba berdalih dengan mengatakan hal lain. Di ujung sana, juga terdengar desah napas menunggu, seolah tahu Mei akan mengatakan sesuatu. Akhirnya Mei membuka mulut kembali.
“Ada pengemis di restoran.”
“Apa?”
“Ada pengemis di ….”
“Ya ampun, Mei. Ini Amerika. Pengemis di sini enggak sama de ….” Suara di sana tak melanjutkan kalimat tersebut, seolah disadarkan kepada sesuatu. Setelah bisu sejenak, sepupunya kemudian menambahkan, “Maaf.”
“It’s OK,” kata Mei.
Meskipun begitu, sepupunya tampak tak yakin dengan ucapan Mei. Ia tak bicara, tetapi tak juga ada tanda-tanda akan mengakhiri pembicaraan. Namun, akhirnya kembali bertanya, “Mei, kamu sungguh baik-baik aja?”
“Ya, aku baik-baik aja.”
Untuk kali pertama, Efendi melihat seorang pengemis masuk restoran. Saat itu ia hendak makan siang di Jack in the Box, tempat ia akan bertemu seorang perempuan yang diperkenalkan oleh temannya. Sambil mengapit Los Angeles Times yang dibelinya seharga 25 sen dari kotak koran, ia duduk menunggu burger pesanannya tersedia. Saat itulah si pengemis membuka pintu dan masuk. Pengemis itu meracaukan sesuatu, dalam bahasa Inggris yang terdengar aneh bagi Efendi.
Restoran cepat saji tersebut tengah penuh oleh para pekerja serta anak-anak sekolah bersama para pengantar mereka. Yang mengejutkannya, tak seorang pun di antara pengunjung merasa terganggu oleh kehadiran seorang pengemis. Tidak pula pelayan dan petugas kasir restoran. Pengemis itu akan diseret petugas keamanan jika melakukannya di satu restoran cepat saji di Jakarta, pikirnya. Bahkan di warung tegal pinggir jalan, pemilik warung akan buru-buru memberinya receh, bukan sebab kehendak berderma, tetapi sejenis perintah untuk segera meninggalkan warung. Tetapi, di sini, di satu sudut Los Angeles, ia melihat seorang pengemis berkeliaran bebas di dalam restoran.
Efendi mencoba mengacuhkan kehadiran pengemis tersebut dan berpikir tentang seperti apa perempuan kenalan yang akan ditemuinya. Ia mencoba memikirkan apa yang akan dikatakannya jika perempuan itu muncul, “Hai, apa kabar?” Atau, “Sudah lama tinggal di Los Angeles?” Ia masih memikirkan cara-cara membuka percakapan, barangkali bertanya hal-hal praktis menjalani kehidupan sehari-hari yang harus diperhatikannya. Ia berharap perjumpaan mereka akan terjadi sesederhana mungkin.
Pengemis itu menggendong buntalan gendut yang tampaknya berisi seluruh kekayaannya. Rambutnya coklat terbakar, menggumpal, dan di sana-sini tampaknya sudah menempel dengan kulit kepalanya. Si pengemis mengenakan mantel Adidas yang tak lagi jelas warnanya, mungkin sumbangan dari dinas sosial atau sejenisnya. Kakinya dilindungi sepatu boot yang masuk ke dalam celananya. Sejenak dipandanginya seluruh isi restoran sebelum menghampiri dua orang sopir truk yang tengah melahap burger sambil berbincang di meja dekat pintu.
“Receh, Tuan?” Pengemis itu menyodorkan telapak tangannya. Kali ini bahasa Inggrisnya jelas terdengar.
Semua pengemis menadahkan tangan, pikir Efendi. Ia sedang melamun ketika nomor antreannya diteriakkan pelayan, membuatnya tergeragap dan segera berdiri, berjalan menuju konter. Sambil menenteng nampan, ia mengisi gelasnya dengan minuman soda sampai buihnya tumpah, dan kembali ke meja. Ia tak lagi memerhatikan pengemis itu, matanya memandang ke kaca jendela, berharap melihat perempuan yang ditunggunya menyeberangi jalan. Tetapi, perempuan itu belum juga muncul. Efendi segera melahap burgernya sambil membuka lipatan koran.
Tiba-tiba pengemis itu telah berada di sampingnya, dengan telapak tangan terjulur ke arahnya. Ceracau di mulutnya yang pertama-tama membuat Efendi mendongak. Segera Efendi merogoh saku celana, mengeluarkan recehan. Ia ingat di sana ada penny, dime, quarter. Ia menyerahkan semua recehnya ke telapak tangan si pengemis, setelah sebelumnya menyelipkan dua quarter ke sakunya yang lain, persediaan untuknya membeli koran besok pagi.
“Kuharap Tuan berjumpa perempuan manis,” kata si pengemis.
Ya, ya, doakan perempuan yang akan datang ini memang manis, gumam Efendi. Bukankah Tuhan selalu mengabulkan doa orang-orang yang teraniaya?
Efendi kembali melahap burgernya dan tak lagi peduli dengan pengemis tersebut.
Mei mengajaknya ke daerah Downtown. Berbelok dari Freeway, mereka melaju menuju First Street dan Mei menunjukkan letak Music Center, juga menunjukkan Dorothy Chandler Pavilion. Kata Mei, selain di Shrine Auditorium, penghargaan Oscar kadang dilaksanakan juga di sana. Mereka terus melaju melewati gedung-gedung teater yang berderet. Sepanjang perjalanan tersebut, entah kenapa, justru Mei yang banyak bicara.
Mei sendiri sebenarnya agak terkejut menemukan dirinya secerewet itu. Mungkin itu cara bawah sadar menanggulangi kegugupan. Mungkin aku begitu girang bertemu makhluk dari Jakarta. Efendi hanya memandangi tamasya melalui kaca jendela.
Dari First Street mereka berbelok ke Grand Avenue, berbelok lagi hingga mereka tiba di Little Tokyo, dan Efendi tak juga bicara. Little Tokyo tampak lebih seperti mal daripada sebuah permukiman orang-orang Jepang. Di sepanjang jalan berderet toko-toko suvenir, berselang-seling dengan toko buku, toko obat serta toko kelontong aneka barang khas Jepang. Di salah satu sisi East First Street tampak gedung cantik yang ternyata Kuil Budhis Koyosan. Saat itulah tiba-tiba Efendi berkata,
“Tadi ada pengemis.”
“Mana?” tanya Mei agak terkejut, sambil menoleh ke pinggir jalan.
“Tadi, di Jack in the Box.”
Terdengar Mei mendesah lega. Ia hanya menoleh sekilas ke arah Efendi sebelum kembali memerhatikan jalan di depan yang agak padat. Mei berpikir barangkali lelaki itu sama gugupnya, hingga sekonyong bicara tentang pengemis yang ditemuinya. Seakan- akan tak ada hal penting lainnya di dunia ini, gumamnya dalam hati. Ia sedang berancang-ancang untuk membicarakan keadaan di Indonesia atau mengenai rencana program kuliah yang akan diambil Efendi, sebelum tiba-tiba ia berpikir barangkali melanjutkan perbincangan mengenai pengemis bisa mencairkan keadaan.
“Aku juga melihatnya, pengemis itu,” kata Mei setelah lama terdiam.
“Pengemis yang pakai mantel Adidas?”
“Ya.”
“Ayo kita cari pengemis it….”
“Tidak. Tidak.” Mei memotong dengan cepat.
Penolakan Mei demikian tiba-tiba, membuat Efendi terdiam dengan mulut terkatup. Ia kembali memandang tamasya di luar kaca jendela mobil, kali ini dengan tatapan gelisah, memandang orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar. Menghindari daerah Skid Row yang tak terlalu nyaman, mereka kembali berbalik arah. Efendi menoleh ke arah Mei dengan sudut matanya, harus mengakui bahwa perempuan itu tampak cantik, dengan rambut ekor kudanya menyembul dari bagian belakang topi. Namun, sejujurnya ia sedang tidak bisa memikirkan perempuan cantik saat ini. Yang ada di kepalanya hanyalah pengemis dengan buntalan gombal di Jack in the Box.
“Maaf soal tadi,” kata Mei tiba-tiba. “Aku agak trauma dengan pengemis.”
“Oh ….” Efendi tak tahu harus berkomentar apa. Yang jelas, harapannya untuk mencari pengemis tadi serasa sirna. Paling tidak, sangat jelas ia tak mungkin mengajak atau meminta bantuan Mei untuk mencarinya. Itu membuat Efendi kembali terdiam. Meski kali ini matanya tak melayap ke pinggiran trotoar, Efendi tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Pengemis tadi penting, ya?” tanya Mei dengan hati-hati.
“Eh, enggak,” Efendi agak tergeragap. “Aku cuma heran ada pengemis di sini.”
Mei tertawa, namun mencoba menahan diri untuk tidak menerangkan betapa salahnya apa yang dipikirkan kebanyakan orang mengenai Amerika. Setelah tawanya reda, dengan suara nyaris berbisik, Mei berkata,
“Tahun 1998 di Jakarta, seorang pengemis nyaris me …,” Mei tak melanjutkan kata-katanya, kebingungan. “Gimana ya, aku mengatakannya?”
“Maaf.” Efendi nyaris terperanjat, mengerti apa yang tidak dikatakan Mei. “Maaf.”
“Tak apa. Aku sudah jauh lebih baik.” Seperti anak belasan tahun, Mei mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf “V” sambil tersenyum.
Efendi membalas senyum tanpa suara itu. Kali ini mereka sudah kembali ke Fifth Street dan melintasi Perpustakaan Pusat Los Angeles. Gedungnya tampak aneh, sejenis percampuran gaya art deco murni dengan struktur kaca yang menjulang ke langit. Kedua sayapnya dihiasi ornamen-ornamen yang eksentrik.
“Boleh aku menceritakan sesuatu?” tanya Efendi tiba-tiba.
“Ya, ya?”
“Aku memberi pengemis itu semua recehanku, hanya menyisakan dua quarter.”
Mei menoleh dan tersenyum. Menunggu Efendi melanjutkan ceritanya.
Efendi menahan napas dan membuangnya perlahan. Ia berkata tanpa menoleh ke arah Mei, “Aku tak sadar cincin kawinku ada di saku celana, sekarang lenyap bersama receh-receh itu.”
Mei kembali menoleh dan berseru, “Apa? Bercanda, kan? Cincin kawin?”
“Ya, cincin kawin.” Efendi mengangguk sambil tersenyum kecut.
“Bagaimana bisa cincin kawin disimpan di saku celana?” tanya Mei sambil melirik ke jari-jemari tangan Efendi. Jari-jari itu memang polos belaka, tanpa cincin kawin, hanya ada bekas coretan bolpen di jempol, serta tahi lalat di jari telunjuk kiri.
Efendi tak mengatakan apa pun, bahkan tidak menoleh ke Mei, hanya memandang ke depan. Sisa senyum kecutnya masih membayang di bibirnya. Sekonyong Mei mengerti situasinya. Perempuan itu tertawa tak tertahankan, seolah inilah hari paling lucu dalam hidupnya. Ia mengguncang bahu Efendi dan menghentikan mobilnya di sisi kanan.
“Ya, ya, aku tahu,” kata Mei sambil menahan tawanya. “Aku juga pernah kenal seorang lelaki yang selalu mencopot cincin kawinnya setiap bertemu perempuan baru.”
Efendi segera menghindari tatapan Mei, menahan senyumnya sendiri.
Mei mengambil tisu dan mengusap ujung matanya. Sambil membetulkan topi di kepalanya, serta masih tertawa kecil, ia berkata, “Baiklah. Ayo kita cari pengemis itu.” Ia menoleh ke belakang, berancang-ancang untuk memutar mobil yang dikendarainya. Lagi-lagi kemudian Mei tertawa, sambil memukuli kemudi dan berkata, “Hampir sepuluh tahun dan aku belum pernah ketawa serupa ini. Lelaki memang tolol sekali, ya?”
Mei masih tertawa, sepanjang jalan terdengar serupa gerimis yang sederhana.